KOTA SUMEDANG
KOTA SUMEDANG
Kabupaten Sumedang terdiri atas 26 kecamatan, 7 kelurahan, dan 270 desa. Sumedang, ibukota kabupaten ini, terletak selama 45 km dari Kota Bandung. Kota ini mencakup kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Sumedang diarungi jalur utama Bandung - Cirebon.
Bagian Barat Daya distrik Kabupaten Sumedang merupakan area perkembangan Kota Bandung. IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), sebelumnya mempunyai nama STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri), UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), ITB (Institut Teknologi Bandung), serta Universitas Padjajaran bertempat di Kecamatan Jatinangor.
Sebagian besar distrik Sumedang ialah pegunungan, kecuali di beberapa kecil distrik Utara berupa dataran rendah. Gunung Tampomas (1.684 mdpl), adalah dataran tertinggi di kabupaten ini yang berada di unsur utara Sumedang.
Batas Wilayah
Kabupaten ini berbatasan dengan:
Utara Kabupaten Indramayu
Timur Kabupaten Majalengka
Selatan Kabupaten Garut
Barat Kabupaten Subang dan Kabupaten Bandung
Sejarah
Mahkota Binokasih, Mahkota Kerajaan Pajajaran yang di berikan kepada Prabu Geusan Ulun ditabung di Museum Prabu Geusan Ulun oleh semua Kandaga Lante Kerajaan Pajajaran sebagai legitimasi guna meneruskan tirah Siliwangi
Keris Panunggul Naga ialah Keris kepunyaan Prabu Geusan Ulun yang adalah raja Kerajaan Sumedang Larang yang terakhir
Keris Naga Sasra yang dipakai oleh Pangeran Kornel (Pangeran Kusumadinata IX) ketika bersalaman memakai tangan kiri (pertanda adanya perlawanan terhadap kepandaian Belanda dalam pembangunan Jalan Raya Pos dengan Gubernur Jenderal Daendels pada peristiwa Cadas Pangeran
Masa Kerajaan Galuh
Pada mulanya, Kabupaten Sumedang ialah sebuah kerajaan di bawah dominasi Raja Galuh. Didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Surya Dewata sebelum Keraton Galuh dialihkan ke Pakuan Pajajaran, Bogor.
Seiring dengan evolusi zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami sejumlah perubahan. Pertama, menjadi Kerajaan Tembong Agung (Tembong dengan kata lain tampak dan Agung dengan kata lain luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke-12. Kemudian pada masa zaman Prabu Tadjimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang berarti menerangi alam, dan lantas diganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang (Sumedang berasal dari kata Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan Larang berarti sesuatu yang tidak terdapat tandingannya).
Masa Kerajaan Sumedang Larang
Sumedang Larang merasakan masa kejayaan pada masa-masa dipimpin oleh Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun selama tahun 1578, dan dikenal luas sampai ke pelosok Jawa Barat dengan wilayah kekuasaan mencakup :
wilayah Selatan hingga dengan Samudera Hindia,
wilayah Utara hingga Laut Jawa,
wilayah Timur hingga dengan Kali Brebes, Kabupaten Brebes
Kerajaan ini lantas menjadi vazal (anak kerajaan) dari Kesultanan Cirebon, dan selanjutnya sedang di bawah kendali Kesultanan Mataram, pada masa Sultan Agung. Pada masa Mataram inilah kiat persawahan diperkenalkan di tanah Pasundan dan menjadi mula istilah "gudang beras" untuk wilayah antara Indramayu sampai Karawang/Bekasi. Dalam strategi penyerangan Sultan Agung ke Batavia distrik Sumedang dijadikan distrik penyedia logistik pangan. Di samping itu, aksara Hanacaraka pun diperkenalkan di distrik Pasundan pada masa ini, dan dikenal sebagai Cacarakan. Pusat kota Sumedang pun dirancang pada masa ini, mengekor pola dasar kota - kota Mataraman lainnya. Sebelum Bandung di bina pada abad ke - 19, Sumedang ialah salah satu pusat kebiasaan Pasundan yang penting.
Masa Pendudukan Belanda
Pangeran Aria Soeriaatmadja (Bupati Sumedang pada tahun 1882 – 1919), pun dikenal dengan julukan "Pangeran Mekkah", sebab wafat di Makkah
Ketika Pakubuwono I me sti menyerahkan konsesi untuk VOC, wilayah dominasi Sumedang diserahkan kepada VOC, yang lantas dipecah-pecah, sampai-sampai wilayah Sumedang menjadi laksana yang dikenal pada masa kebebasan Indonesia sekarang.
Sumedang mempunyai karakteristik sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa, yakni ada Alun - alun sebagai pusat kota yang dikelilingi Masjid Agung, lokasi tinggal penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun kota ada bangunan yang mempunyai nama Lingga, tugu peringatan yang di bina pada tahun 1922. Dibuat oleh Pangeran Siching dari Negeri Belanda dan dipersembahkan guna Pangeran Aria Suria Atmaja atas jasa - jasanya dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal 22 Juli 1922 oleh Gubernur Jenderal Mr. Dr. Dirk Fock. Sampai ketika ini Lingga dijadikan lambang wilayah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang. Lambang Kabupaten Sumedang, Lingga, dibuat oleh R. Maharmartanagara, putra seorang Bupati Bandung Rd. Adipati Aria Martanagara, keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi emblem Sumedang pada tanggal 13 Mei 1959.
Hal-hal yang terdapat pada logo Lingga :
Perisai : Melambangkan jiwa ksatria utama, percaya untuk diri sendiri
Sisi Merah : Melambangkan motivasi keberanian
Dasar Hijau : Melambangkan kesuburan pertanian
Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus Pada Lingga : Melambangkan bahwa insan tidak terdapat yang sempurna
Sinar Matahari : Melambangkan motivasi dalam menjangkau kemajuan
Warna Kuning Emas : Melambangkan keluhuran budi dan kehormatan jiwa
Sinar yang ke 17 Angka : Melambangkan Angka Sakti tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Delapan Bentuk Pada Lingga : Lambang Bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan 5 Buah Anak Tangga : Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945
Tulisan Insun Medal erat kaitannya dengan kata Sumedang yang berisi arti:
Berdasarkan Prabu Tadjimalela, seorang figur legendaris dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun : Aku, Medal : Keluar).
Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun Medal berarti (Insun: Daya, Madangan: Terang)
Kedua definisi ini mempunyai sifat mistik.
Berdasarkan penjelasan Prof. Anwas Adiwilaga, Insun Medal berasal dari kata Su dan Medang, (Su: bagus dan Medang: sejenis kayu yang bagus pada Jati, yakni huru yang tidak sedikit tumbuh di Sumedang dulu), dan definisi ini mempunyai sifat etimologi.
Berdasarkan keterangan dari Bujangga Manik, di sekitar Gunung Tampomas ada Kerajaan Kahiyangan, yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa.
Belum jelas, adakah hubungan antara Medang Kahiyangan dan Sumedang Larang. Namun pada ketika Bujangga Manik menginjak Medang Kahiyangan, menurut keterangan dari versi lainnya, saat tersebut sudah ada kerajaan yang dinamakan Sumedang Larang.
Dalam Kropak 410 disebutkan, Pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak lain ialah Prabu Resi Tadjimalela. Ia berkedudukan di Tembong Agung yang dinamakan Mandala Himbar Buana.
Masih belum jelas pula asal - usulnya figur Legendaris leluhur Sumedang ini. Sebab, Tadjimalela ialah nama beda dari Panji Romahyang, putra Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura (Rintisan Penelusuran silam sejarah Jawa Barat).
Sumber beda menjelaskan, baik Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja, maupun riwayat yang menurut tradisi lisan yang masih hidup, dilafalkan bahwa Prabu Tadjimalela ialah putra Prabu Guru Aji Putih, salah seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan Sri Baduga Maharaja. Ia mengerjakan petualangan sampai ke area Timur selama pinggiran Sungai Cimanuk.
Prabu Tadjimalela masih mempunyai sejumlah nama, antara lain: Prabu Resi Agung Cakra Buana, Batara Tuntang Buana, dan Aji Putih.
Dalam Waruga Jagat yang telah dicatat dari huruf Arab ke dalam artikel latin (1117 H), antara beda dikatakan: "Ari putrana Sang Dewa Guru Haji Putih, nyaeta Sang Aji Putih."
Kehadiran Prabu Guru Haji Putih mencetuskan perubahan baru dalam kemasyarakatan, yang sudah dirintis semenjak abad ke-8 oleh Sanghyang Resi Agung. Secara perlahan dusun-dusun di dekat pinggiran sungai Cimanuk tersebut diikat oleh sebuah struktur pemerintahan dan kemasyarakatan sampai berdirilah Kerajaan Tembong Agung yang adalah cikal akan Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung tersebut, menurut keterangan dari riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
Prabu Guru Haji Putih berputra Prabu Resi Tadjimalela. Berdasarkan komparasi generasi dalam Kropak 410 Tadjimalela sejajar dengan figur Ragamulya (1340 - 1350) penguasa di Kawali dan figur Surya Dewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di Majalengka.
Memang belum didapatkan keterangan sumber yang menyinggung - nyebut siapa gerangan istri Sang Prabu Resi Tadjimalela. Namun, dalam sejumlah sumber baik lisan maupun tertulis, disebutkan Prabu Resi Tadjimalela memiliki dua orang putra: Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.
Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tadjimalela raja kesatu dilanjutkan oleh putranya mempunyai nama Atmabrata yang lebih dikenal dengan sebutan Gajah Agung sebagai raja kedua Kerajaan Sumedang Larang yang berkedudukan di Cicanting.
Kisah mula raja ini memang serupa dengan kisah mula Kerajaan Mataram. Berdasarkan keterangan dari versi Babad Tanah Jawi, antara Ki Ageng Sela dengan Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda, kemudian ia pergi. Datang Ki Ageng Pamanahan yang lantas meminumnya. Maka lantas yang menjadi raja Ki Ageng Pamanahan.
Demikian pula dalam naskah Layang Darmaraja, yang menceritakan Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan tahta kepemimpinan dari Prabu Resi Tadjimalela.
Dikisahkan, pada suatu saat Prabu Tadjimalela memanggil kedua putra kembarnya Lembu Agung dan Gajah Agung. Prabu Tadjimalela berbicara kepada mereka supaya ada salah satu salah seorang putranya ini yang mau melanjutkan kepemimpinannya.
"Adinda, adindalah kiranya yang lebih tepat menjadi raja," ujar Lembu Agung untuk adiknya. "Kakanda, sungguh tidak layak adinda yang masih muda usianya, bila harus menjadi raja. Kakandalah yang lebih tepat," jawab Gajah Agung. Setelah salah satu kedua putranya, masing - masing saling menunjuk siapa salah satu mereka yang layak menjadi raja, kesudahannya Prabu Resi Tadjimalela memetik buah kelapa muda kemudian disimpannya kelapa tadi serta sebilah pedang.
Mereka berdua diajak menungguinya. "Adinda, bantu jaga kelapa ini. Kakanda berkeinginan pergi ke jamban dulu," kata Lembu Agung sambil pergi meninggalkan Gajah Agung. Tiba - mendarat sepeninggal Lembu Agung, Gajah Agung menikmati haus yang bukan kepalang.
Apa boleh buat, guna menghilangkan dahaganya, Prabu Gajah Agung lantas mengupas kelapa tersebut dan diminumlah airnya. Karenanya, saat Lembu Agung pulang lagi, Gajah Agung langsung mengucapkan permohonan maaf untuk Lembu Agung sebab rasa bersalahnya sudah meminum air kelapa yang semestinya dijaganya.
Semula Prabu Gajah Agung menyangka, Prabu Lembu Agung bakal memarahinya. Namun ternyata, dengan kehormatan jiwa Prabu Lembu Agung justeru berkata: "Adinda, tampaknya suratan takdir sudah menilai , dengan diminumnya air kelapa tadi oleh adinda, telah barang pasti Adindalah yang kini terpilih menjadi raja," ucap Lembu Agung.
Singkat cerita, jadilah Prabu Gajah Agung meneruskan kepemimpinan Prabu Tadjimalela, yang lantas ia meninggalkan lokasi menuju wilayah di pinggiran Kali Cipeles untuk menegakkan kerajaan yang kini disebut Ciguling.
Kemudian ia bergelar Prabu Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu Gajah Agung lantas digantikan oleh putranya, Wirajaya, yang lebih dikenal Sunan Pagulingan sebagai raja ketiga Kerajaan Sumedang Larang. Dalam Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Sunan Pagulingan berkedudukan di Cipameungpeuk.
Namun terdapat pula yang mengisahkan, status Kerajaan Sumedang Larang pada saat tersebut berada di Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan.
Yang jelas, ketiga raja Sumedang Larang yang kesatu ini masing - masing berkedudukan di lokasi yang bertolak belakang - beda. Ini adalah suatu gejala, bahwa kerajaan itu belum permanen yang bisa ditinggali turun temurun oleh semua penerus pemegang kekuasaannya. Keadaan tersebut dilangsungkan sampai sejumlah generasi berikutnya.
Putri Sulung Pagulingan mempunyai nama Ratu Ratnasih alias Nyi Mas Rajamantri diperistri Sri Baduga Maharaja. Karena itu, adiknya mempunyai nama Martalaya menggantikan status ayahnya menjadi penguasa Kerajaan Sumedang Larang yang keempat dengan gelar Sunan Guling.
Sunan Guling digantikan oleh putranya mempunyai nama Tirtakusumah atau Sunan Patuakan sebagai raja kelima Kerajaan Sumedang Larang. Kemudian, ia digantikan lagi oleh putri sulung mempunyai nama Sintawati alias Nyi Mas Patuakan sebagai raja keenam Sumedang Larang.
Antara Ibu dan anak ini memiliki gelar yang sama, yakni Patuakan.
Ratu Sintawati berjodoh dengan Sunan Corenda, raja Talaga. Putra Ratu Simbar Kencana dari Kusumalaya, putra Dewa Niskala. Dengan demikian, ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Corenda memiliki dua permaisuri, yaitu Mayangsari putri Langlangbuana dari Kuningan dan Sintawati dari Sumedang.
Dari Mayangsari, Sunan Corenda mendapat putri Bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung. Ratu Parung berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Talaga), putra Munding Surya Ageung. Tokoh ini putra Sri Baduga. Sunan Parung Gangsa ditaklukkan oleh Cirebon tahun 1530 dan masuk Islam.
Dari Sintawati putri sulung Sunan Guling, Sunan Corenda memiliki putri mempunyai nama Setyasih, yang lantas menjadi penguasa ketujuh Kerajaan Sumedang Larang dengan gelar Ratu Pucuk Umum. Ratu Pucuk Umum Menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri. Pangeran ini ialah putra Pangeran Pamelakaran dari putri Sindangkasih. Pangeran Pamelekaran putra Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan putra Syekh Datuk Kahfi.
Dengan perkawinan antara Ratu Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang berikut agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529.
Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa kedelapan Kerajaan Sumedang Larang pada tanggal 13 unsur gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka, atau kira - kira 21 Oktober 1530 M, tiga bulan sesudah penobatan Pangeran Santri.
Pada tanggal 12 bagian cerah bulan Margasira tahun 1452 di Keraton Pakungwati diadakan perjamuan "syukuran" guna merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri.
Hal ini menunjukkan, bahwa Sumedang Larang sudah masuk dalam lingkaran pengaruh Cirebon. Pangeran Santri ialah murid Susuhunan Jati. Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang kesatu yang menganut Islam. Ia pula yang membina Kutamaya sebagai Ibukota baru guna pemerintahannya.
Dari perkawinannya dengan Ratu Pucuk Umum alias Ratu Inten Dewata, Pangeran Santri yang bergelar Pangeran Kusumahdinata I ini dikaruniai enam orang anak, yakni :
Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun)
Kiyai Rangga Haji
Kiyai Demang Watang Walakung
Santowaan Wirakusumah
Santowaan Cikeruh
Santowaan Awiluar
Yang mencetuskan keturunan anak - cucu di Kecamatan Pagaden
Pangeran Santri wafat 2 Oktober 1579. Di antara putra - putri Pangeran Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk Umum), yang melanjutkan pemerintahan di Sumedang Larang merupakan Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun sebagai raja kesembilan. Berdasarkan keterangan dari Babad, wilayah kekuasaan Geusan Ulun diberi batas :
kali Cipamali di sebelah Timur,
Kali Cisadane di sebelah Barat, sedangkan
di sebelah Selatan dan Utara diberi batas laut.
Daerah dominasi Geusan Ulun bisa disimak dari isi surat Rangga Gempol III yang diantarkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini diciptakan hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam kitab harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari 1691.
Dalam surat tadi, Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan Kusumahdinata VI) menuntut supaya kekuasannya dipulihkan pulang seperti dominasi buyutnya, yakni Geusan Ulun. Rangga Gempol III mengungkapkan bahwa dominasi Geusan Ulun mencakup 44 penguasa wilayah Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante dan 18 umbul.
Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun - Angun
Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha (R. Wirawangsa)
Ke - 44 wilayah di bawah dominasi Geusan Ulun mencakup :
I. Di Kabupaten Bandung
Timbanganten
Batulayang
Kahuripan
Tarogong
Curugagung
Ukur
Marunjung
Daerah Ngabei Astramanggala
II. Di Kabupaten Parakanmuncang
Selacau
Daerah Ngabei Cucuk
Manabaya
Kadungora
Kandangwesi (Bungbulang)
Galunggung (Singaparna)
Sindangkasih
Cihaur
Taraju
III. Di Kabupaten Sukapura
Karang
Parung
Panembong
Batuwangi
Saung Watang (Mangunreja)
Daerah Ngabei Indawangsa di Taraju
Suci
Cipiniha
Mandala
Nagara (Pameungpeuk)
Cidamar
Parakan Tiga
Muara
Cisalak
Sukakerta
Berdasarkan data yang diantarkan Rangga Gempol III pada masa VOC, maka dominasi Prabu Geusan Ulun mencakup Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung.
Batas di sebelah Timur ialah Garis Cimanuk - Cilutung diperbanyak Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum - Cisokan.
Batas di sebelah Selatan laut.
Namun di sebelah Utara diduga tidak mencakup wilayahnya sebab telah dikuasai oleh Cirebon.
Masa dominasi Prabu Geusan Ulun (1578 - 1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran dampak serangan Banten di bawah Sultan Maulana Yusuf.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga Lante untuk memberikan Mahkota serta mengucapkan amanat guna Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang agar melanjutkan dominasi Pajajaran. Geusan Ulun me sti menjadi penerus Pajajaran.
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 yang berbunyi : "Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedang mandala" (Geusan Ulun memerintah distrik Pajajaran yang sudah runtuh, yakni sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam wilayah Sumedang), selanjutnya dikabarkan "Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun" (Para penguasa beda di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Keempat orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus ke Sumedang tersebut, yakni :
Jaya Perkosa (Sanghyang Hawu);
Wiradijaya (Nangganan);
Kondang Hapa; dan
Pancar Buana (Embah Terong Peot).
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 mengisahkan keempat bersaudara tersebut : "Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya" (Mereka mengabdi untuk Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membangun bala tentara, ditugasi menata pemerintahan dan beda - lain), sampai-sampai penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan Raja Sumedang Larang ke - 9 mendapat restu dari 44 penguasa wilayah Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante ialah semacam kepala yang satu tingkat lebih tinggi daripada cutak (camat) dan 18 umbul dengan cacah sejumlah ± 9000 umpi, guna menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang sudah sirna. Pemberian pusaka Pajajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya diputuskan sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang.
Jaya Perkosa ialah bekas senapati Pajajaran, sementara Batara Wiradijaya cocok julukannya bekas Nangganan. Berdasarkan keterangan dari Kropak 630, jabatan Nangganan lebih tinggi setingkat dari menteri, tetapi setingkat lebih rendah dari Mangkubumi.
Di samping itu , menurut keterangan dari tradisi hari pasaran Legi (Manis), adalah saat baik guna memulainya sebuah upaya besar dan paling penting. Peristiwa itu dirasakan sangat penting sebab pengukuhan Geusan Ulun sebagai "nyakrawartti" atau nalendra adalah semacam proklamasi kemerdekaan Sumedang yang mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Kerajaan Cirebon. Arti urgen lain yang terdapat dalam peristiwa itu ialah pernyataan bahwa Sumedang Larang menjadi berpengalaman waris serta penerus yang sah dari dominasi Kerajaan Pajajaran, di bumi Parahyangan.
Mahkota dan sejumlah atribut kerajaan yang diangkut oleh senapati Jaya Perkosa dan di berikan kepada Prabu Geusan Ulun adalah bukti legalisasi kehormatan Sumedang Larang, tak berbeda dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan Mataram.
Berdasarkan bukti sejarah, baik yang tertulis maupun babad atau kisah rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang diputuskan menurut pertimbangan sejarah.
Serangan laskar campuran Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada abad XVI ke Pajajaran, adalah peristiwa yang menciptakan Kerajaan Pajajaran runtag (runtuh).
Berakhirnya Pajajaran pada masa-masa itu, tidak menyeret Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, beberapa rakyat Sumedang Larang pada tersebut sudah mendekap Agama Islam. Justru dengan berakhirnya masa dominasi Pajajaran, Sumedang Larang makin berkembang.
Penetapan Hari Jadi
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumedang erat kaitannya dengan peristiwa di atas. Terdapat tiga sumber yang dijadikan pegangan dalam menilai Hari Jadi Kabupaten Sumedang:
Pertama : Kitab Waruga Jagat, yang dibentuk Mas Ngabehi Perana tahun 1117 H. Kendati tak begitu menyeluruh isinya, tetapi sangat menolong dalam upaya menggali tanggal tepat guna dijadikan pegangan atau penentuan Hari Jadi Sumedang. "Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Selasa Ping 14 Wulan Syafar Tahun Jim Akhir," artinya: Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14 Syafar tahun Jim Akhir.
Kedua : Buku Rucatan Sejarah yang dibentuk Dr. R. Asikin Widjaya Kusumah yang menyertakan antara lain: "Pangeran Geusan Ulun Jumeneng Nalendra (harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang sabada burak Pajajaran," artinya: Pangeran Geusan Ulun menjadi raja yang berdaulat di Sumedang Larang sesudah Kerajaan Pajajaran berakhir.
Tiga : Dibuat Prof. Dr. Husein Djajadiningrat berjudul: Critise Beshuocing van de Sejarah Banten. Desertasi ini antara lain melafalkan serangan tentara Islam ke Ibukota Pajajaran terjadi pada tahun 1579, tepatnya Ahad 1 Muharam tahun Alif.
Mengacu pada ketiga sumber di atas, maka dalam diskusi guna menilai Hari Jadi Sumedang yang dihadiri semua sejarawan masing - masing Drs. Said Raksa Kusumah; Drs. Amir Sutaarga; Drs. Saleh Dana Sasmita; Dr. Atja dan Drs. A Gurfani, sukses menyimpulkan bahwa 14 Syafar Tahun Jim Akhir tersebut jatuh pada tahun 1578 Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya 22 April 1578.
Atas dasar tersebut DPRD Daerah Tingkat II Sumedang masa-masa itu, dalam Keputusan Nomor 1/Kprs/DPRD/Smd/1973, Tanggal 8 Oktober 1973, memutuskan tanggal 22 April 1578 sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang.
Post a Comment