Header Ads

test

KOTA SUMEDANG

KOTA SUMEDANG


Kabupaten Sumedang terdiri atas 26 kecamatan, 7 kelurahan, dan 270 desa. Sumedang, ibukota kabupaten ini, terletak selama   45 km dari Kota Bandung. Kota ini mencakup   kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Sumedang diarungi   jalur utama Bandung - Cirebon.

Bagian Barat Daya distrik   Kabupaten Sumedang merupakan area   perkembangan Kota Bandung. IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), sebelumnya mempunyai   nama   STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri), UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), ITB (Institut Teknologi Bandung), serta Universitas Padjajaran bertempat   di Kecamatan Jatinangor.

Sebagian besar distrik   Sumedang ialah   pegunungan, kecuali di beberapa   kecil distrik   Utara berupa dataran rendah. Gunung Tampomas (1.684 mdpl), adalah  dataran tertinggi di kabupaten ini yang berada di unsur   utara   Sumedang.

Batas Wilayah
Kabupaten ini berbatasan dengan:

Utara Kabupaten Indramayu
Timur Kabupaten Majalengka
Selatan Kabupaten Garut
Barat Kabupaten Subang dan Kabupaten Bandung
Sejarah

Mahkota Binokasih, Mahkota Kerajaan Pajajaran yang di berikan   kepada Prabu Geusan Ulun ditabung   di Museum Prabu Geusan Ulun oleh semua   Kandaga Lante Kerajaan Pajajaran sebagai legitimasi guna   meneruskan tirah Siliwangi

Keris Panunggul Naga ialah   Keris kepunyaan   Prabu Geusan Ulun yang adalah  raja Kerajaan Sumedang Larang yang terakhir

Keris Naga Sasra yang dipakai   oleh Pangeran Kornel (Pangeran Kusumadinata IX) ketika   bersalaman memakai   tangan kiri (pertanda adanya perlawanan terhadap kepandaian   Belanda dalam pembangunan Jalan Raya Pos dengan Gubernur Jenderal Daendels pada peristiwa Cadas Pangeran
Masa Kerajaan Galuh
Pada mulanya, Kabupaten Sumedang ialah   sebuah kerajaan di bawah dominasi   Raja Galuh. Didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Surya Dewata sebelum Keraton Galuh dialihkan   ke Pakuan Pajajaran, Bogor.

Seiring dengan evolusi   zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami sejumlah   perubahan. Pertama, menjadi Kerajaan Tembong Agung (Tembong dengan kata lain   tampak dan Agung dengan kata lain   luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke-12. Kemudian pada masa zaman Prabu Tadjimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang berarti menerangi alam, dan lantas   diganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang (Sumedang berasal dari kata Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan Larang berarti sesuatu yang tidak terdapat   tandingannya).

Masa Kerajaan Sumedang Larang
Sumedang Larang merasakan   masa kejayaan pada masa-masa   dipimpin oleh Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun selama   tahun 1578, dan dikenal luas sampai   ke pelosok Jawa Barat dengan wilayah   kekuasaan mencakup   :

wilayah Selatan hingga   dengan Samudera Hindia,
wilayah Utara hingga   Laut Jawa,
wilayah Barat hingga   dengan Cisadane, dan
wilayah Timur hingga   dengan Kali Brebes, Kabupaten Brebes
Kerajaan ini lantas   menjadi vazal (anak kerajaan) dari Kesultanan Cirebon, dan selanjutnya sedang di   bawah kendali Kesultanan Mataram, pada masa Sultan Agung. Pada masa Mataram inilah kiat   persawahan diperkenalkan di tanah Pasundan dan menjadi mula   istilah "gudang beras" untuk wilayah   antara Indramayu sampai   Karawang/Bekasi. Dalam strategi penyerangan Sultan Agung ke Batavia distrik   Sumedang dijadikan distrik   penyedia logistik pangan. Di samping   itu, aksara Hanacaraka pun   diperkenalkan di distrik   Pasundan pada masa ini, dan dikenal sebagai Cacarakan. Pusat kota Sumedang pun   dirancang pada masa ini, mengekor   pola dasar kota - kota Mataraman lainnya. Sebelum Bandung di bina   pada abad ke - 19, Sumedang ialah   salah satu pusat kebiasaan   Pasundan yang penting.

Masa Pendudukan Belanda

Pemandangan dan air terjun di Sumedang (litografi menurut   lukisan oleh Abraham Salm, 1865-1872)

Pangeran Aria Soeriaatmadja (Bupati Sumedang pada tahun 1882 – 1919), pun   dikenal dengan julukan "Pangeran Mekkah", sebab   wafat di Makkah
Ketika Pakubuwono I me  sti menyerahkan   konsesi untuk   VOC, wilayah dominasi   Sumedang diserahkan   kepada VOC, yang lantas   dipecah-pecah, sampai-sampai   wilayah Sumedang menjadi laksana   yang dikenal pada masa kebebasan   Indonesia sekarang.

Sumedang mempunyai karakteristik   sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa, yakni   ada   Alun - alun sebagai pusat kota yang dikelilingi Masjid Agung, lokasi   tinggal   penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun kota ada   bangunan yang mempunyai   nama   Lingga, tugu peringatan yang di bina   pada tahun 1922. Dibuat oleh Pangeran Siching dari Negeri Belanda dan dipersembahkan guna   Pangeran Aria Suria Atmaja atas jasa - jasanya dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal 22 Juli 1922 oleh Gubernur Jenderal Mr. Dr. Dirk Fock. Sampai ketika   ini Lingga dijadikan lambang wilayah   Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang. Lambang Kabupaten Sumedang, Lingga, dibuat   oleh R. Maharmartanagara, putra seorang Bupati Bandung Rd. Adipati Aria Martanagara, keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi emblem   Sumedang pada tanggal 13 Mei 1959.

Hal-hal yang terdapat   pada logo Lingga :

Perisai : Melambangkan jiwa ksatria utama, percaya untuk   diri sendiri
Sisi Merah : Melambangkan motivasi   keberanian
Dasar Hijau : Melambangkan kesuburan pertanian
Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus Pada Lingga : Melambangkan bahwa insan   tidak terdapat   yang sempurna
Sinar Matahari : Melambangkan motivasi   dalam menjangkau   kemajuan
Warna Kuning Emas : Melambangkan keluhuran budi dan kehormatan   jiwa
Sinar yang ke 17 Angka : Melambangkan Angka Sakti tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Delapan Bentuk Pada Lingga : Lambang Bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan 5 Buah Anak Tangga : Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945
Tulisan Insun Medal erat kaitannya dengan kata Sumedang yang berisi   arti:
Berdasarkan Prabu Tadjimalela, seorang figur   legendaris dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun : Aku, Medal : Keluar).
Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun Medal berarti (Insun: Daya, Madangan: Terang)
Kedua definisi   ini mempunyai   sifat   mistik.

Berdasarkan penjelasan   Prof. Anwas Adiwilaga, Insun Medal berasal dari kata Su dan Medang, (Su: bagus dan Medang: sejenis kayu yang bagus pada Jati, yakni   huru yang tidak sedikit   tumbuh di Sumedang dulu), dan definisi   ini mempunyai   sifat   etimologi.
Berdasarkan keterangan dari   Bujangga Manik, di sekitar   Gunung Tampomas ada   Kerajaan Kahiyangan, yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa.

Belum jelas, adakah hubungan antara Medang Kahiyangan dan Sumedang Larang. Namun pada ketika   Bujangga Manik menginjak   Medang Kahiyangan, menurut   keterangan dari   versi lainnya, saat tersebut   sudah ada   kerajaan yang dinamakan   Sumedang Larang.

Dalam Kropak 410 disebutkan, Pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak lain ialah   Prabu Resi Tadjimalela. Ia berkedudukan di Tembong Agung yang dinamakan   Mandala Himbar Buana.

Masih belum jelas pula asal - usulnya figur   Legendaris leluhur Sumedang ini. Sebab, Tadjimalela ialah   nama beda   dari Panji Romahyang, putra Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura (Rintisan Penelusuran silam sejarah Jawa Barat).

Sumber beda   menjelaskan, baik Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja, maupun riwayat yang menurut   tradisi lisan yang masih hidup, dilafalkan   bahwa Prabu Tadjimalela ialah   putra Prabu Guru Aji Putih, salah seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan Sri Baduga Maharaja. Ia mengerjakan   petualangan sampai   ke area   Timur selama   pinggiran Sungai Cimanuk.

Prabu Tadjimalela masih mempunyai   sejumlah nama, antara lain: Prabu Resi Agung Cakra Buana, Batara Tuntang Buana, dan Aji Putih.

Dalam Waruga Jagat yang telah dicatat   dari huruf     Arab ke dalam artikel   latin (1117 H), antara beda   dikatakan: "Ari putrana Sang Dewa Guru Haji Putih, nyaeta Sang Aji Putih."

Kehadiran Prabu Guru Haji Putih mencetuskan   perubahan baru dalam kemasyarakatan, yang sudah   dirintis semenjak   abad ke-8 oleh Sanghyang Resi Agung. Secara perlahan dusun-dusun di dekat   pinggiran sungai Cimanuk tersebut   diikat oleh sebuah   struktur pemerintahan dan kemasyarakatan sampai   berdirilah Kerajaan Tembong Agung yang adalah  cikal akan   Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung tersebut, menurut   keterangan dari   riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.

Prabu Guru Haji Putih berputra Prabu Resi Tadjimalela. Berdasarkan komparasi   generasi dalam Kropak 410 Tadjimalela sejajar dengan figur   Ragamulya (1340 - 1350) penguasa di Kawali dan figur   Surya Dewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di Majalengka.

Memang belum didapatkan   keterangan sumber yang menyinggung   - nyebut siapa gerangan istri Sang Prabu Resi Tadjimalela. Namun, dalam sejumlah   sumber baik lisan maupun tertulis, disebutkan   Prabu Resi Tadjimalela memiliki   dua orang putra: Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.

Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tadjimalela raja kesatu   dilanjutkan oleh putranya mempunyai   nama   Atmabrata yang lebih dikenal dengan sebutan Gajah Agung sebagai raja kedua Kerajaan Sumedang Larang yang berkedudukan di Cicanting.

Kisah mula   raja ini memang serupa   dengan kisah mula   Kerajaan Mataram. Berdasarkan keterangan dari   versi Babad Tanah Jawi, antara Ki Ageng Sela dengan Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda, kemudian   ia pergi. Datang Ki Ageng Pamanahan yang lantas   meminumnya. Maka lantas   yang menjadi raja Ki Ageng Pamanahan.

Demikian pula dalam naskah Layang Darmaraja, yang menceritakan   Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan tahta kepemimpinan dari Prabu Resi Tadjimalela.

Dikisahkan, pada suatu saat   Prabu Tadjimalela memanggil kedua putra kembarnya Lembu Agung dan Gajah Agung. Prabu Tadjimalela berbicara   kepada mereka supaya   ada salah satu   salah seorang putranya ini yang mau   melanjutkan kepemimpinannya.

"Adinda, adindalah kiranya yang lebih tepat menjadi raja," ujar Lembu Agung untuk   adiknya. "Kakanda, sungguh tidak layak   adinda yang masih muda usianya, bila     harus menjadi raja. Kakandalah yang lebih tepat," jawab Gajah Agung. Setelah salah satu   kedua putranya, masing - masing saling menunjuk siapa salah satu   mereka yang layak   menjadi raja, kesudahannya   Prabu Resi Tadjimalela memetik buah kelapa muda kemudian   disimpannya kelapa tadi serta sebilah pedang.

Mereka berdua diajak   menungguinya. "Adinda, bantu   jaga kelapa ini. Kakanda berkeinginan   pergi ke jamban dulu," kata Lembu Agung sambil   pergi meninggalkan Gajah Agung. Tiba - mendarat   sepeninggal Lembu Agung, Gajah Agung menikmati   haus yang bukan kepalang.

Apa boleh buat, guna   menghilangkan dahaganya, Prabu Gajah Agung lantas   mengupas kelapa tersebut   dan diminumlah airnya. Karenanya, saat   Lembu Agung pulang   lagi, Gajah Agung langsung mengucapkan   permohonan maaf untuk   Lembu Agung sebab   rasa bersalahnya sudah   meminum air kelapa yang semestinya dijaganya.

Semula Prabu Gajah Agung menyangka, Prabu Lembu Agung bakal   memarahinya. Namun ternyata, dengan kehormatan   jiwa Prabu Lembu Agung justeru   berkata: "Adinda, tampaknya suratan takdir sudah   menilai  , dengan diminumnya air kelapa tadi oleh adinda, telah   barang pasti   Adindalah yang kini   terpilih menjadi raja," ucap Lembu Agung.

Singkat cerita, jadilah Prabu Gajah Agung meneruskan kepemimpinan Prabu Tadjimalela, yang lantas   ia meninggalkan lokasi   menuju wilayah   di pinggiran Kali Cipeles untuk menegakkan   kerajaan yang kini   disebut Ciguling.

Kemudian ia bergelar Prabu Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu Gajah Agung lantas   digantikan oleh putranya, Wirajaya, yang lebih dikenal Sunan Pagulingan sebagai raja ketiga Kerajaan Sumedang Larang. Dalam Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Sunan Pagulingan berkedudukan di Cipameungpeuk.

Namun terdapat   pula yang mengisahkan, status   Kerajaan Sumedang Larang pada saat tersebut   berada di Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan.

Yang jelas, ketiga raja Sumedang Larang yang kesatu   ini masing - masing berkedudukan di lokasi   yang bertolak belakang   - beda. Ini adalah  suatu gejala, bahwa kerajaan itu   belum permanen yang bisa   ditinggali turun temurun oleh semua   penerus pemegang kekuasaannya. Keadaan tersebut dilangsungkan   sampai sejumlah   generasi berikutnya.

Putri Sulung Pagulingan mempunyai   nama   Ratu Ratnasih alias Nyi Mas Rajamantri diperistri Sri Baduga Maharaja. Karena itu, adiknya mempunyai   nama   Martalaya menggantikan status   ayahnya menjadi penguasa Kerajaan Sumedang Larang yang keempat dengan gelar Sunan Guling.

Sunan Guling digantikan oleh putranya mempunyai   nama   Tirtakusumah atau Sunan Patuakan sebagai raja kelima Kerajaan Sumedang Larang. Kemudian, ia digantikan lagi oleh putri sulung mempunyai   nama   Sintawati alias Nyi Mas Patuakan sebagai raja keenam Sumedang Larang.

Antara Ibu dan anak ini memiliki   gelar yang sama, yakni   Patuakan.

Ratu Sintawati berjodoh dengan Sunan Corenda, raja Talaga. Putra Ratu Simbar Kencana dari Kusumalaya, putra Dewa Niskala. Dengan demikian, ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.

Sunan Corenda memiliki   dua permaisuri, yaitu   Mayangsari putri Langlangbuana dari Kuningan dan Sintawati dari Sumedang.

Dari Mayangsari, Sunan Corenda mendapat    putri Bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung. Ratu Parung berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Talaga), putra Munding Surya Ageung. Tokoh ini putra Sri Baduga. Sunan Parung Gangsa ditaklukkan oleh Cirebon tahun 1530 dan masuk Islam.

Dari Sintawati putri sulung Sunan Guling, Sunan Corenda memiliki   putri mempunyai   nama   Setyasih, yang lantas   menjadi penguasa ketujuh Kerajaan Sumedang Larang dengan gelar Ratu Pucuk Umum. Ratu Pucuk Umum Menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri. Pangeran ini ialah   putra Pangeran Pamelakaran dari putri Sindangkasih. Pangeran Pamelekaran putra Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan putra Syekh Datuk Kahfi.

Dengan perkawinan antara Ratu Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang berikut   agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529.

Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa kedelapan Kerajaan Sumedang Larang pada tanggal 13 unsur   gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka, atau kira - kira 21 Oktober 1530 M, tiga bulan sesudah   penobatan Pangeran Santri.

Pada tanggal 12 bagian cerah   bulan Margasira tahun 1452 di Keraton Pakungwati diadakan   perjamuan "syukuran" guna   merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri.

Hal ini menunjukkan, bahwa Sumedang Larang sudah   masuk dalam lingkaran pengaruh Cirebon. Pangeran Santri ialah   murid Susuhunan Jati. Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang kesatu   yang menganut Islam. Ia pula yang membina   Kutamaya sebagai Ibukota baru guna   pemerintahannya.

Dari perkawinannya dengan Ratu Pucuk Umum alias Ratu Inten Dewata, Pangeran Santri yang bergelar Pangeran Kusumahdinata I ini dikaruniai enam orang anak, yakni   :

Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun)
Kiyai Rangga Haji
Kiyai Demang Watang Walakung
Santowaan Wirakusumah
Santowaan Cikeruh
Santowaan Awiluar
Yang mencetuskan   keturunan anak - cucu di Kecamatan Pagaden

Pangeran Santri wafat 2 Oktober 1579. Di antara putra - putri Pangeran Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk Umum), yang melanjutkan pemerintahan di Sumedang Larang merupakan     Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun sebagai raja kesembilan. Berdasarkan keterangan dari   Babad, wilayah   kekuasaan Geusan Ulun diberi batas   :

kali Cipamali di sebelah Timur,
Kali Cisadane di sebelah Barat, sedangkan
di sebelah Selatan dan Utara diberi batas   laut.
Daerah dominasi   Geusan Ulun bisa   disimak dari isi surat Rangga Gempol III yang diantarkan   kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini diciptakan   hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam kitab   harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari 1691.

Dalam surat tadi, Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan Kusumahdinata VI) menuntut supaya   kekuasannya dipulihkan pulang   seperti dominasi   buyutnya, yakni   Geusan Ulun. Rangga Gempol III mengungkapkan bahwa dominasi   Geusan Ulun mencakup   44 penguasa wilayah   Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante dan 18 umbul.

Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun - Angun
Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha (R. Wirawangsa)
Ke - 44 wilayah   di bawah dominasi   Geusan Ulun mencakup   :

I. Di Kabupaten Bandung

Timbanganten
Batulayang
Kahuripan
Tarogong
Curugagung
Ukur
Marunjung
Daerah Ngabei Astramanggala
II. Di Kabupaten Parakanmuncang

Selacau
Daerah Ngabei Cucuk
Manabaya
Kadungora
Kandangwesi (Bungbulang)
Galunggung (Singaparna)
Sindangkasih
Cihaur
Taraju
III. Di Kabupaten Sukapura

Karang
Parung
Panembong
Batuwangi
Saung Watang (Mangunreja)
Daerah Ngabei Indawangsa di Taraju
Suci
Cipiniha
Mandala
Nagara (Pameungpeuk)
Cidamar
Parakan Tiga
Muara
Cisalak
Sukakerta
Berdasarkan data yang diantarkan   Rangga Gempol III pada masa VOC, maka dominasi   Prabu Geusan Ulun mencakup   Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung.

Batas di sebelah Timur ialah   Garis Cimanuk - Cilutung diperbanyak   Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum - Cisokan.
Batas di sebelah Selatan laut.
Namun di sebelah Utara diduga   tidak mencakup   wilayahnya sebab   telah dikuasai oleh Cirebon.
Masa dominasi   Prabu Geusan Ulun (1578 - 1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran dampak   serangan Banten di bawah Sultan Maulana Yusuf.

Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga Lante untuk memberikan   Mahkota serta mengucapkan   amanat guna   Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang agar   melanjutkan dominasi   Pajajaran. Geusan Ulun me  sti menjadi penerus Pajajaran.

Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 yang berbunyi : "Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedang mandala" (Geusan Ulun memerintah distrik   Pajajaran yang sudah   runtuh, yakni   sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam wilayah   Sumedang), selanjutnya dikabarkan   "Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun" (Para penguasa beda   di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).

Keempat orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus ke Sumedang tersebut, yakni   :

Jaya Perkosa (Sanghyang Hawu);
Wiradijaya (Nangganan);
Kondang Hapa; dan
Pancar Buana (Embah Terong Peot).
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 mengisahkan   keempat bersaudara tersebut   : "Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya" (Mereka mengabdi untuk   Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membangun   bala tentara, ditugasi menata   pemerintahan dan beda   - lain), sampai-sampai   penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan Raja Sumedang Larang ke - 9 mendapat restu dari 44 penguasa wilayah   Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante ialah   semacam kepala yang satu tingkat lebih tinggi daripada cutak (camat) dan 18 umbul dengan cacah sejumlah   ± 9000 umpi, guna   menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang sudah   sirna. Pemberian pusaka Pajajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya diputuskan   sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang.

Jaya Perkosa ialah   bekas senapati Pajajaran, sementara   Batara Wiradijaya cocok   julukannya bekas Nangganan. Berdasarkan keterangan dari   Kropak 630, jabatan Nangganan lebih tinggi setingkat dari menteri, tetapi   setingkat lebih rendah dari Mangkubumi.

Di samping   itu  , menurut   keterangan dari   tradisi hari pasaran Legi (Manis), adalah  saat baik guna   memulainya sebuah   upaya besar dan paling   penting. Peristiwa itu dirasakan   sangat penting sebab   pengukuhan Geusan Ulun sebagai "nyakrawartti" atau nalendra adalah  semacam proklamasi kemerdekaan   Sumedang yang mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Kerajaan Cirebon. Arti urgen   lain yang terdapat   dalam peristiwa itu ialah   pernyataan bahwa Sumedang Larang menjadi berpengalaman   waris serta penerus yang sah dari dominasi   Kerajaan Pajajaran, di bumi Parahyangan.

Mahkota dan sejumlah   atribut kerajaan yang diangkut   oleh senapati Jaya Perkosa dan di berikan   kepada Prabu Geusan Ulun adalah  bukti legalisasi kehormatan   Sumedang Larang, tak berbeda   dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan Mataram.

Berdasarkan bukti sejarah, baik yang tertulis maupun babad atau kisah   rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang diputuskan   menurut   pertimbangan sejarah.

Serangan laskar campuran   Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada abad XVI ke Pajajaran, adalah  peristiwa yang menciptakan   Kerajaan Pajajaran runtag (runtuh).

Berakhirnya Pajajaran pada masa-masa   itu, tidak menyeret Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, beberapa   rakyat Sumedang Larang pada tersebut   sudah mendekap   Agama Islam. Justru dengan berakhirnya masa dominasi   Pajajaran, Sumedang Larang makin   berkembang.

Penetapan Hari Jadi
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumedang erat kaitannya dengan peristiwa di atas. Terdapat tiga sumber yang dijadikan pegangan dalam menilai   Hari Jadi Kabupaten Sumedang:

Pertama : Kitab Waruga Jagat, yang dibentuk   Mas Ngabehi Perana tahun 1117 H. Kendati tak begitu menyeluruh   isinya, tetapi   sangat menolong   dalam upaya menggali   tanggal tepat guna   dijadikan pegangan atau penentuan Hari Jadi Sumedang. "Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Selasa Ping 14 Wulan Syafar Tahun Jim Akhir," artinya: Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14 Syafar tahun Jim Akhir.
Kedua : Buku Rucatan Sejarah yang dibentuk   Dr. R. Asikin Widjaya Kusumah yang menyertakan antara lain: "Pangeran Geusan Ulun Jumeneng Nalendra (harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang sabada burak Pajajaran," artinya: Pangeran Geusan Ulun menjadi raja yang berdaulat di Sumedang Larang sesudah   Kerajaan Pajajaran berakhir.
Tiga : Dibuat Prof. Dr. Husein Djajadiningrat berjudul: Critise Beshuocing van de Sejarah Banten. Desertasi ini antara lain melafalkan   serangan tentara Islam ke Ibukota Pajajaran terjadi pada tahun 1579, tepatnya Ahad 1 Muharam tahun Alif.
Mengacu pada ketiga sumber di atas, maka dalam diskusi guna   menilai   Hari Jadi Sumedang yang dihadiri semua   sejarawan masing - masing Drs. Said Raksa Kusumah; Drs. Amir Sutaarga; Drs. Saleh Dana Sasmita; Dr. Atja dan Drs. A Gurfani, sukses   menyimpulkan bahwa 14 Syafar Tahun Jim Akhir tersebut   jatuh pada tahun 1578 Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya 22 April 1578.

Atas dasar tersebut   DPRD Daerah Tingkat II Sumedang masa-masa   itu, dalam Keputusan Nomor 1/Kprs/DPRD/Smd/1973, Tanggal 8 Oktober 1973, memutuskan   tanggal 22 April 1578 sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang.

Tidak ada komentar